gudeg jogja
Semangat berburu pun sudah dimulai di hari pertama, dan serangkaian pertanyaan pun terlontar kepada berbagai pihak. Sebenarnya cuman satu pertanyaanku : ”Dimana gudeg yang paling enak di Jogja?”
Dari sopir taksi di bandara jawabnya sangat meyakinkan : Yu Djum, ada di Kaliurang dan Wijilan. Wow, bayangan gudeg dengan aksesoris pendampingnya sudah mulai menari-nari di pelupuk mata, bikin perut jadi laparrrrrrr.
Alih alih beristirahat di hotel, aku cuman meletakkan tas dan langsung menuju ke jalan raya mencari taksi dengan tujuan Kaliurang. Kembali pertanyaan seputar gudeg aku ajukan ke sopir taksi dan dengan jawaban pasti dia bilang Yu Djum, rasa penasaran pun semakin menjadi jadi. Seperti apa sih Yu Djum?
Sampailah aku di bilangan Barek, dekat dengan UGM. Sederet rumah makan menghiasi jalan raya, ada gudeg, makanan Padang, dll tapi sopir taksi malah masuk ke gang yang agak berliku dan berhenti di depan warung dengan bangunan sederhana. Sederet mobil parkir di depannya.
Aura popularitas tempat ini sudah tercium dari teras, sekelompok seniman muda beraksi menyanyikan lagu lagu pop masa kini. Gerobak rujak pun menemani seniman, menjajakan dagangannya.
Pertama masuk, kesan gelap terasa karena penerangan seadanya alias natural lighting, tapi begitu mencicipi nasi gudeg nya, wow... memang luar biasa. Menurut teman-2 aku termasuk orang yang rewel untuk urusan makanan tapi kali ini tanpa komplain sepatah kata pun. Hmmm...
Penasaran aku pun minta ijin untuk melongok dapurnya, kali - kali aja ada alasan aku untuk bahan bantahan kalau sopir taksi bilang gudeg Yu Djum paling enak. Mulailah aku memasuki area dapur hingga ke ”original” dapur yang di luar.
Dari acara berkeliling di dapur aku menyimpulkan mereka bekerja secara profesinal dan mereka pun menjaga kebersihan. Mungkin mereka sudah sadar kepuasan pelanggan yang diutamakan karena itu mereka menjalankan tugasnya dengan senang hati. Mungkin juga karena itu gudeg Yu Djum jadi enak.
Memang sudah berniat tiada hari tanpa gudeg selama aku ke Jogja, hari kedua pun masih penasaran dengan gudeg. Jadilah aku mencoba gudeg lain di sekitar Barek. Entah karena lidahku sudah terprogram dengan rasa ”Yu Djum” gudeg yang aku makan berasa lain. Aku pun cuman makan sekedarnya.
Setelah selesai makan, ku ayunkan langkah kaki menuju gang yang berliku, ke tempat Yu Djum, gile... habis makan, makan lagi. Ada pemandangan yang berbeda di sini. Kalau hari pertama gerobak rujak menghiasi halaman depan teras, kali ini gerobak kue leker yang bertengger di sana.
Juga kalo hari sebelumnya senimannya adalah sekelompok muda, kali ini senimannya adalah sekelompok orang tua dengan suara sopran dari penyanyi wanitanya.
Sebenarnya kalau boleh jujur, gudeg bukanlah makanan favorit aku, tetapi karena penasaran saja yang membuat aku jadi gila gudeg. Dan kembali kegilaan itu muncul di hari ketiga. Dalam hati pun aku bertanya, apakah jawaban sopir taksi masih sama kalau aku menanyakan gudeg yang paling enak?
Dan memang entah kebetulan atau memang begitu populer di sana, kali ini bapak sopir pun membawa aku ke Wijilan, dari sederet gudeg gudeg yang ada, mobil berhenti tepat di depan rumah makan dengan penanda : Yu Djum. Hahaha, jadilah aku menyantap hidangan jogja khas Yu Djum.
Penasaran seperti apakah gerangan yu Djum itu? Inilah sosok Yu Djum yang sekarang usaha beliau diteruskan oleh generasi berikutnya bernama Yu Nani.
Dan rasa penasaran ku pun tertuntaskan oleh gudeg Yu Djum. Aku jadi membayangkan, andaikan Gudeg Yu Djum ada di Jakarta. Kapan ya?